Tuesday 1 March 2011

Penalaran Hukum untuk Keadilan Masyarakat Miskin

8. Manusia dan Keadilan

Penalaran hukum sebagai suatu metode atau bagian dari ilmu hukum harus mampu menjawab persoalan-persoalan keadilan di masyarakat khususnya bagi masyarakat miskin dalam pengertian baik secara ekonomi, politik maupun sosial budaya yang mengakibatkan lemahnya akses terhadap hukum. Penalaran hukum yang didalam dirinya memang merupakan proses berfikir dengan menggunakan hukum-hukum penalaran yang mampu menembus batas-batas doktrinal hukum, pada saat kondisi terjadinya karut marut dalam praksis hukum maka harus dikembalikan kepada penalaran hukum untuk dapat menemukan keputusan hukum yang benar. Disamping itu penafsiran atas hukum dengan mengingat struktur masyarakat Indonesia yang sebagian besar merupakan masyarakat miskin haruslah menjadi pertimbangan dalam penerapan hukum.
Menurut Schroth, adanya kebutuhan untuk melakukan penafsiran itu dapat dikembalikan kepada tiga alasan yaitu (Budiono Kusumohamidjojo, 2004):
  1. Pertama, penafsir tidak dapat lagi ‘mengikuti’ naskah kaidah undang-undang yang harus dipahaminya, karena dia tidak tahu bagaimana harus mengikutinya,
  2. Kedua, naskah kaidah undang-undang yang harus dipahami memang tidak lengkap,
  3. Ketiga, naskah kaidah undang-undang sebagimana adanya itu memang tidak dapat dipahami.
Permasalahan ketumpang tindihan hukum dan ketidaktaatan azas bisa terjadi karena tafsir atas hukum yang dilakukan oleh para legislator terlebih para aparat penegak hukum yang mengoperasionalkan hukum tidak dilandasi pemahaman yang mendasar atas hukum yang harus memenuhi prinsip-prinsip yuridis, historis dan filosofis demi keadilan masyarakat.
Sejarah hukum di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia itu sendiri. Sebagaimana kita ketahui bersama selama tiga setengah abad perjalanan bangsa Indonesia berada dalam penjajahan Belanda. Seiring dengan itu pula bangsa Belanda menerapkan hukumnya didaerah jajahannya tidak terkecuali di Indonesia. Apabila kita runtut lagi ke belakang hukum Belanda berasal dari Perancis sejak jaman Romawi, yang tidak lain sebagai negara yang menjajah Belanda. Salah satu diantaranya (Kansil, 1992) adalah Code Civil yaitu “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perancis” yang dibukukan oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1804, banyak dimasukkan didalamnya hukum Romawi.
Oleh karena itu tidak dapat dipungkiri prinsip-prinsip dan azas-azas hukum yang berlaku di Indonesia hampir sama dengan hukum Belanda, tentu disamping hukum adat dan hukum kebiasaan sebagai living law yang tidak dapat terelakkan. Indonesia berhukum Belanda ini setelah jaman kemerdekaan dikukuhkan kembali (Andi Hamzah, 1994) dengan berlakunya Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 mengatakan “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menrut Undang-Undang Dasar ini”. Keadaan kesejarahan yang demikian telah menempatkan Indonesia ke dalam sistem hukum Eropa Continental.
Perjalanan kesejarahan hukum di Indonesia yang kental dengan sistem hukum Eropa Continental / civil law yang menghendaki adanya unifikasi dan kodifikasi hukum membawa konsekuensi aliran positivisme hukum sangat kental di Indonesia. Hal ini merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindarkan sebagai sebuah kenyataan kesejarahan hukum. Oleh karena itu positivisme hukum di Indonesia merupakan realitas hukum yang hidup, berkembang dan berlaku sebagai sebuah kebudayaan dalam arti sebagai hasil karya, karsa dan cipta bangsa Indonesia tentu dengan menyesuaikan kondisi sosial, politik dan budaya setempat.
Aliran positivisme hukum di Indonesia yang berakar pada kesejarahan hukum di Indonesia membawa konsekuensi logis pada berkembangnya model penalaran positivisme hukum terutama pada Pengembanan Hukum Praktis tidak terkecuali Polisi, Jaksa dan Hakim. Berangkat dari kenyataan kesejarahan hukum di Indonesia tersebut diatas maka model penalaran positivisme hukum dengan segala kekurangannya dan kelebihannya dapat dijadikan sebagai sebuah alternatif. Salah satu kekurangannya adalah model penalaran positivisme hukum pada tataran aksiologis mempunyai kecenderungan menghasilkan kesimpulan yang menitikberatkan pada kepastian hukum.
Untuk menghindari jebakan kepastian hukum maka untuk meminimalisirnya perlu adanya design model penalaran positivisme hukum yang sesuai dengan konteks keindonesiaan. Berkaitan dengan penyesuaian dalam konteks keindonesiaan Shidarta menjelaskan (Shidarta, 2006) mengingat penalaran hukum melibatkan subjek hukum (manusia) yang ketika menghadapi suatu kausus konkret harus berpikir kontekstual dalam lingkaran kebudayaannya demi melahirkan putusan yang bersifat praktis (dapat dieksekusi), maka tujuan penalaran hukum yakni kepastian hukum tersebut tidak mungkin dapat berdiri sendiri tanpa didampingi dengan tujuan-tujuan keadilan dan kemanfaatan.
Realitas masyarakat Indonesia yang sebagian besar merupakan masyarakat bawah baik dari sosial, ekonomi dan politik yang mempunyai posisi lemah dihadapan hukum maka harus ada keberpihakan hukum pada masyarakat bawah. Keberpihakan ini harus dilakukan oleh para penstudi hukum pada semua level baik pengamat, pengembanan hukum teoritis maupun terutama oleh pengembanan hukum praktis. Oleh karena itu design model penalaran positivisme hukum yang dibutuhkan adalah adanya sinergisitas antara hukum dan moralitas dengan cara mengintervensi hukum dalam tataran aksiologis dengan memasukkan keadilan yang memihak pada masyarakat bawah. Model yang demikian sebagaimana yang dinyatakan oleh Shidarta aspek aksiologisnya (Shidarta, 2006) adalah mengarah kepada pencapaian nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan secara simultan, yang kemudian diikuti dengan kepastian hukum, dua nilai yang disebutkan pertama menjadi tujuan dalam proses pencarian (context of discovery), sementara nilai terakhir adalah tujuan dalam konteks penerapannya (context of justification). Intervensi keadilan terhadap hukum dengan keberpihakan ini menjadi penting dengan tetap menjaga titik keseimbangan bagi kepentingan pelanggar hukum, korban pelanggaran hukum, masyarakat dan negara agar hukum dapat menaikkan harkat dan martabat kemanusiaan.
Masalah penerapan hukum tidak bisa dilepaskan dari masalah keadilan yang merupakan muara dari hukum itu sendiri dan berbicara keadilan tidak bisa dilepaskan dari masalah kemanusiaan yang merupakan samudera dari muara keadilan artinya hukum haruslah didedikasikan untuk harkat dan martabat kemanusiaan terutama untuk masyarakat miskin. Hukum yang adil tidak akan berarti apa-apa apabila tidak bisa mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan. Untuk itu penegakan hukum yang adil menjadi penting untuk dimaknai, berbicara penegakan hukum kita perlu melihat terlebih dahulu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi berfungsinya kaedah hukum dalam masyarakat yaitu (Soerjono Soekanto, 1980) : Kaedah Hukum / Peraturan itu sendiri, Petugas / Penegak Hukum, Fasilitas dan Masyarakat.
Sehubungan dengan faktor penegakan hukum Aparat Penegak Hukum mempunyai peran yang sangat penting. Aparat Penegak Hukum disamping dituntut untuk menguasai teknis yuridis secara profesional dalam mengoperasikan hukum (ius operatum), disini dituntut untuk menguasai dogmatik hukum, Aparat Penegak Hukum juga dituntut untuk menguasai penalaran hukum agar menghasilkan kearifan hukum yang berbuah pada keadilan untuk harkat dan martabat kemanusiaan. Mengingat penerapan dogmatik hukum secara konseptual mempunyai kemampuan yang terbatas dalam mewujudkan sebuah kebenaran, disamping itu Aparat Penegak Hukum sebagai seorang manusia tentu mempunyai keterbatasan dalam mencapai kebenaran sebab kebenaran yang hakiki tidak dapat dicapai oleh seorang manusia, manusia hanya dapat mendekati kebenaran. Disinilah pangkal tolak manfaat atau pentingnya penalaran hukum bagi seorang yang berprofesi sebagai Aparat Penegak Hukum agar dapat menerapkan hukum yang bisa manghasilkan kearifan hukum.
Bertitik tolak dari paradigma yang demikian ada keterkaitan yang sangat erat antara profesi Aparat Penegak Hukum dengan penalaran hukum. Penalaran hukum yang sesuai dengan konteks keindonesiaan dalam tataran praksis akan sangat berguna bagi Aparat Penegak Hukum sebagai seorang yuris ketika menghadapi sebuah kasus yang pada kenyataannya sehari-hari harus mengambil keputusan dalam menerapkan hukum. Dalam situasi yang demikian seorang Aparat Penegak Hukum harus berfikir secara mendalam untuk mengambil sebuah keputusan yang baik dan benar, padahal keputusan yang baik belum tentu benar dan sebaliknya keputusan yang benar belum tentu baik. Disinilah seorang Aparat Penegak Hukum juga harus menguasai kemampuan penalaran hukum untuk dapat mengambil keputusan yang adil khususnya bagi masyarakat miskin.

 Sumber : http://internalnapi.blogspot.com/2009/04/rasa-keadilan-masyarakat-selalu-jadi.html

No comments:

Post a Comment