Sunday 4 December 2011

Mengembalikan Hak-Hak Warga Negara

Warga Negara (Tulisan 4)

Kebebasan warga negara tercermin pada pemenuhan hak-haknya, berikut pengembaliannya. Namun, telah lama fenomena pengabaian hak-hak warga negara terpampang tanpa malu-malu dalam pola relasi negara dan rakyat hampir di semua aspek. Pengabaian hak oleh pemerintah memang tidak bisa dipandang hanya sebagai terminologi dan wilayah politik, sebagaimana dalam kegiatan pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, serta musyawarah rencana pembangunan daerah. Pengabaian justru secara kentara terjadi dalam penyelenggaraan pelayanan publik dalam lokus administratif dan manajerial yang kerap kali dilakukan oleh aparatur negara yang notabene merupakan tangan pemerintah. Namun, melalui partisipasi politik yang tidak berkualitaslah di kemudian hari maladministasi dan kelalaian manajerial itu terjadi.

Jika berbagai kasus yang ada ditelaah, pengabaian hak-hak ini memiliki pola yang bervariasi antara pola berhadapan di muka (face to face model), pola kamuflase (camouflage model), serta pola parsial (partial model). Perbedaan pola ini secara signifikan diidentifikasi berdasarkan corak perlakuan pemberi layanan terhadap penerimanya.

Pola pengabaian dengan berhadapan di muka merupakan pengabaian hak warga negara yang dilakukan secara lugas dan langsung dikenakan pada obyek. Pengenaan serangkaian biaya pendaftaran siswa terhadap calon orang tua siswa merupakan contoh pola ini. Demikian juga dengan aksi penggusuran warga dan pedagang semisal di kawasan Rawasari.

Berbeda dengan pola di atas, pola kamuflase terjadi ketika suatu kegiatan memiliki kesan tampak luar seakan-akan memenuhi hak-hak warga negara tetapi yang sebenarnya terjadi adalah pengabaian, bahkan penyingkiran, hak warga negara. Sebagai contoh, kegiatan renovasi dan pembenahan pasar dengan mengeluarkan pedagang-pedagang lama terlebih dulu untuk kemudian mengenakan tarif sewa kios baru yang menurut estimasi sulit dijangkau sebagaian besar pedagang lama, sementara pedagang dengan kapasitas permodalan menengah ke atas berkemungkinan menjangkaunya. Tindakan ini dipublikasikan sebagai upaya untuk memodernisasi pasar tradisional agar dapat bersaing secara sehat dengan mal dan pasar modern lainnya, juga untuk mewujudkan kenyamanan konsumen dalam berbelanja di pasar tradisional. Namun, dengan mekanisme seperti itu, nyata bahwa terjadi penyingkiran sistematis pedagang lama dengan kapasitas permodalan minim untuk kemudian digantikan oleh mereka yang lebih mapan. Pada ruang lingkup kegiatan demokrasi prosedural, pendaftaran yang tidak dilakukan terhadap warga calon pemilih atau melakukan pendaftaran atas mereka yang belum/ tidak dapat dikategorikan sebagai pemilih dalam serangkaian kegiatan pemilu atau pilkada juga merupakan contoh nyata pola pengabaian ini akibat malpraktek administrasi.

Pola pengabaian parsial terjadi ketika, baik disengaja maupun tidak, suatu penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan dengan memenuhi sebagian hak-hak warga negara tetapi pada saat yang bersamaan ada sisi lain yang menjadi cacat bawaan prosedural sehingga tidak mencapai pemenuhan hak secara utuh. Contoh pola ini didapatkan pada pengoperasian Komisi Ombudsman Nasional (KON). Lembaga ini dibentuk delapan tahun lalu melalui Keppres No. 44 Tahun 2000 untuk menjawab pengaduan dan mengawasi pelaksanaan pelayanan umum. Namun, lembaga ini tampak memiliki kredibilitas yang rendah karena hanya bisa melanjutkan penyimpangan dalam pelayanan atau pengaduan yang disampaikan kepadanya dengan teguran, tanpa kemudian mengubah keputusan lembaga atau hukum mengenai suatu pelayanan atau membuat tindakan hukum lain yang lebih tegas si pelaku. Berbeda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang, selain memiliki landasan hukum setaraf undang-undang (UU), lembaga ini sedemikian superpower hingga (sebelumnya) bisa menyelenggarakan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor), hakim sendiri, serta alienasi lembaga kejaksaan dan kepolisian untuk turut campur dalam kasus yang sudah ditangani KPK.

Perilaku pengabaian di atas merupakan hambatan dalam pencapaian konsolidasi demokrasi sehingga pada akhirnya implikasi yang ditimbulkan akan kembali pada dimensi politik. Jika kita sepakat bahwa kegiatan demokrasi prosedural merupakan langkah sementara untuk kemudian mencapai demokrasi substansial—suatu kondisi hak-hak politik warga negara terlindungi dan kebijakan diorientasikan pada pencapaian kesejahteraan mereka, perbaikan demokrasi prosedural menjadi mutlak untuk diwujudkan. Sebuah keadaan yang demokrasi terkonsolidasikan ditunjukkan dari kredibilitas demokrasi pada benak sebagian besar warga negara sebagai satu jalan utama bagi perbaikan sekaligus pengembangan kehidupan politik mereka hingga akhirnya berimplikasi pada taraf ekonominya.

Oleh : Defny Holidin
Sumber : http://netsains.com/2009/07/mengembalikan-hak-hak-warga-negara/

No comments:

Post a Comment