Sunday, 4 December 2011

Peran Umat Beragama dalam Agama dan Masyarakat

Agama dan Masyarakat (Tulisan 9)
Agama-agama mempunyai banyak kesamaan ketika berperan di tengah-tengah hidup dan kehidupan masyarakat. Misalnya, dalam rangka mensejahterakan masyarakat, agama berperan agar terjadi perubahan sosial dengan harapan manusia mempunyai kualitas hidup yang lebih baik. Semua peran itu, memang bisa dilakukan secara sendiri-sendiri, namun alangkah baiknya jika semua agama bisa melakukannya secara bersama.
Pada umumnya, umat beragama menyadari dan memahami bahwa TUHAN yang menciptakan manusia. Ia memberi mandat kepada manusia untuk mengolah, menata, merawat, dan memanfaatkan hasil ciptaan-Nya. Agama-agama juga menyadari bahwa, mandat itu hanya bisa dilaksanakan dengan baik, jika dilakukan secara bersama, serta semua kapasitas dan kemampuan manusia terus menerus ditingkatkan. Akan tetapi, hal tersebut hanya sebatas pemahaman saja, dalam arti belum mencapai berbagai tindakan konkrit pada tataran realitas masyarakat dalam hidup serta kehidupan setiap hari.
Tantangan-tantangan umum yang di hadapi umat beragama
Sebagian besar masyarakat atau penduduk Indonesia [termasuk umat beragama] berada di wilayah pedesaan pulau Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Papua, Timor, dan lain-lain. Pada umumnya, masih banyak di antara mereka yang bergelut dengan kurangnya pendidikan karena ketiadaan dana; sarana dan prasarana sosial, ibadah, pendidikan yang terbatas; banyak yang dikategorikan sebagai keluarga pra sejahtera dan tertinggal.
 Namun, sebaliknya, masyarakat perkotaan, dalam banyak hal, lebih baik keadaannya. Walaupun demikian, masyarakat di perkotaan pun masih mempunyai berbagai ciri khas yang sekaligus berdampak pada pendekatan dalam pelayanan agama-agama. Misalnya,
  1. kota-kota metropolitan [misalnya Jakarta, Surabaya, Medan, dan lain-lain], dengan masyarakat multi etnis; tingkat ekonomoni-sosial yang beraneka ragam; adanya kaum miskin kota yang berdampingan dengan orang-orang kaya; mempunyai penduduk yang sarat dengan permasalahan; adanya kesenjangan yang cenderung memunculkan berbagai konflik sosial akibat dari hal-hal sepele; dan kadang-kadang pengaruh sisi gelap dari metropolitan tersebut merambah masuk ke dalam hidup dan kehidupan umat beragama
  2. kota-kota penyangga [misalnya, Bekasi, Tangerang, Sidoarjo, Mojokerto, dan lain-lain]; penduduk dengan mobilitas yang cukup tinggi; banyak waktu mereka yang terbuang di jalan raya; hari-hari efektif mereka terisi dengan pergerakan pulang-pergi ke metropolitan di dekatnya untuk bekerja, sekolah, dan lain-lain
  3. kota-kota industri dan urban yang ramai serta padat karena adanya industri di sekitarnya [misalnya Tenggarong, Balikpapan, Batam, dan lain-lain
  4. kota-kota [relatif] kecil namun penuh dinamika khas [misalnya Salatiga, banyak mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia dan dunia; Kediri, buruh pabrik rokok; Madiun, sebagai lintasan transportasi antara Jawa Timur dan Jawa Tengah; Cirebon, sebagai lintasan transportasi antara Jawa Tengah dan Jawa Barat; Magelang, anggota militer; dan lain-lain].
Karakteristik masyarakat dan umat beragama seperti itu, sebetulnya sekaligus merupakan kekayaan dan tantangan bagi pemimpin-pemimpin keagamaan. Tiap-tiap umat beragama mempunyai ciri khas, namun hampir semuanya mempunyai kesamaan yang umum, yaitu anggota adalah orang dewasa dalam usia produktif; hampir sebagian besar waktunya digunakan untuk sibuk bekerja atau mencari nafkah; mempunyai mobilitas tinggi karena tuntutan profesi; mempunyai tanggung jawab untuk menghidupi serta mensejahterahkan keluarga; dan lain sebagainya. Di samping itu, umumnya ada semacam penyakit yang pada umat beragama sehingga mereka kurang [bahkan tidak mau] berperan di/dalam kegiatan-kegiatan agamawi, kecuali pada hari-hari raya keagamaan.
Di samping semuanya itu, pada era kemajuan tekhnologi dan komunikasi, agaknya peran umat beragama, seharusnya tidak melulu tertuju pada orang-orang seagama, melainkan menjangkau masyarakat di luar agamanya. Masyarakat yang terus menerus mengalami proses globalisasi, menimbulkan transformasi komunikasi dan informasi sehingga berdampak terhadap perubahan nilai-nilai sosial serta budaya, dan lain-lain. Dan, ketika masyarakat [yang di dalamnya termasuk anak-anak] berubah serta menerima nilai-nilai baru yang didapat akibat bebasnya arus informasi. Pada sikon itu, misalnya anak-anak yang mengalami pengaruh bebasnya arus informasi, kemudian mereka menggunakannya untuk berhadapan dengan orang tuanya, maka bisa saja akan muncul benturan-benturan serta gesekan-gesekan. Benturan-benturan itu bisa juga akibat perbedaan persepsi di antara keduanya; misalnya perbedaan menanggapi dan bersikap terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Dan jika orang tua tidak siap, tanpa wawasan yang luas, kurang sigap mengamati dan memperhatikan perkembangan masyarakat, maka benturan-benturan tersebut akan semakin menjadi suatu pertikaian yang tak henti; pertikaian yang berujung pada retak dan renggangnya hubungan inter dan antar anggota keluarga, serta orang tua dengan anak, dan lain sebagainya. Dan tidak menutup kemungkinan, adanya pelarian sumber daya insani [terutama angkatan muda yang berpendidikan dan dinamis serta kreatif] ke pelbagai agama yang membuka kesempatan kepada mereka untuk berkreasi sesuai perkembangannya. 
Oleh sebab itu, umat beragama perlu berbuat lebih banyak lagi [karena pada umumnya mereka mempunyai kemampuan untuk itu]. Itu berarti membutuhkan kemampuan penyesuaian dan mengatasi masalah serta dukungan lingkungan kondusif untuk berkembangnya nilai-nilai sosial dan budaya yang tanggap terhadap berbagai perubahan. Hal itu harus terjadi, karena adanya permasalahan sosial di/dalam masyarakat [konteks umat beragama berada]. Misalnya, kekerasan [dari orang dewasa dan sosial] terhadap masyarakat, terutama kepada wanita dan anak-anak; kenakalan remaja [di rumah, sekolah, lingkungan] dan berbagai dampak yang mengikutinya; penyalahgunaan obat-obatan; mudah mengikuti unsur-unsur budaya asing [dengan tanpa berpikir kritis] yang ditampilkan melalui media massa; premanisme serta pelbagai tindak kriminal; masalah seksual; masalah kaum urban dan masyarakat miskin kota di daerah-daerah kumuh; benturan budaya sebagai pendatang di kota metropolitan; ketidakmampuan ekonomi yang berimbas pada faktor kesehatan dan pendidikan, dan lain lain.


Oleh : Jappy Pellokila
Sumber : http://www.jappy.8m.net/blank_15.html

IPTEK dan Kemiskinan pada Masyarakat

IPTEK(Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Kemiskinan) (Tulisan 8)

llmu pengetahuan teknologi dan kemiskinan di tengah-tengah masyarakat jelas sangat berhubungan walaupun itu tak terjalin secara langsung dan juga bukan lah menjadi penyebab satu-satunya kemiskinan. Sebab penyebab utama dari kemiskinan menurut saya pribadi adalah berasal dari kesadaran pola pikir dari masyarakat itu sendiri mengenai arti dari ‘SUKSES’ yang ingin mereka capai.

Setiap masyarakat yang berada di daerah pedesaan masih banyak yang tidak bersekolah karena alasan tidak adanya biaya. Alasan lainnya, ada yang mengatakan jarak dari rumah mereka ke sekolah sangat jauh sehingga mereka lebih memilih membantu orang tua mereka dalam mencari uang.

Oleh karena itu tidak heran apabila setiap masyarakat yang berada di daerah pedesan kurang mendapat pendidikan formil maupun pengetahuan teknologi dan mereka masih hidup dibawah garis kemiskinan. Jujur, saya sangat sedih melihat kehidupan anak-anak di daerah pedesaan yang kurang maju dibandingkan dengan anak-anak di kota.

Saya ingin anak-anak di daerah pedesaan bisa setara dengan anak-anak yang ada di kota. Tetapi saya mulai bisa merasa lega karena pemerintah sudah lebih bisa memperhatikan nasib rakyatnya yang kurang berkecukupan. Kini, pemerintah telah mengadakan program BOS yaitu Bantuan Operasional Sekolah. Program tersebut dapat membantu anak-anak di daerah pedesaan yang kurang mampu untuk bisa mendapatkan pendidikan wajib 9 tahun dan terbebaskan dari bayaran sekolah. Dan untuk anak yang berprestasi akan mendapat beasiswa di sekolah hingga ia bisa sampai sekolah tinggi.

Menurut saya itu dapat memotifasi anak-anak agar lebih semangat untuk belajar dan menjadikan mereka untuk lebih maju kedepannya. Anak-anak Indonesia adalah generasi penerus bagi bangsa Indonesia. Anak-anak bisa membuat bangsa Indonesia dikenal di seluruh dunia tidak hanya dalam bidang pendidikan tetapi dalam bidang apapun. Contohnya saja, anak Indonesia ada yang berhasil menorehkan prestasi di dunia hingga dapat membanggakan nama negar kita ini di dunia internasional.

Dengan program pemerintah tersebut, anak-anak pedesaan yang masih hidup di bawah garis kemiskinan dan mendapatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sama dengan anak-anak yang tinggal di daerah perkotaan. Dan semoga saja dengan diadakannya program tersebut oleh pemerintah dapat menjadikan anak-anak Indonesia lebih cerdas, maju dan berkembang serta dapat membanggakan nama Indonesia ke dunia pendidikan Internasional.

Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat membantu masyarakat kita terbebas dari derita kemiskinan. Semoga negara kita dapat cepat lepas dari berbagai masalah yang telah lama menyelimuti negara kita ini. Permasalahan di negara kita ini dapat terselesaikan apabila rakyat Indonesia juga ikut membantu dan selalu kompak dalam berkehidupan bebrbangsa dan bernegara.

Kesimpulan:

Dari seluruh bahasan di atas dapat saya simpulkan, bahwa hubungan antara ilmu pengetahuan teknologi dsan kemiskinan sangat erat hubungannya. Apabila seluruh masyarakat di Negara ini dapat memiliki pendidikan dasar dan ilmu pengetahuan yang cukup, sama dengan Negara-negara lain yang sudah makmur di dunia, maka saya rasa kemiskinan di Negara ini akan berkurang. Jadi jelas sekali ilmu pengetahuan dan teknologi berperan sangat penting pada masyarakat miskin di Negara kita ini.

Oleh : Irwan Pantau
Sumber : http://irwanpantau.wordpress.com/2010/03/06/iptek-dan-kemiskinan/

Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi, sebuah alternatif

Pengembangan Sosial (Tulisan 7)

Krisis Ekologi, Keadilan Sosial dan Hak Asasi Manusia (HAM) telah melanda dunia pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Polusi udara, laut, sungai, tanah, racun dalam rantai makanan, penurunan sumber daya bumi, penipisan ozon, pemanasan global, kepunahan flora-fauna, lenyapnya alam liar, erosi tanah, desertifiksi, deforestasi, limbah nuklir, krisis populasi, kemiskinan, pengangguran, adalah masalah mendesak. Jalan keluarnya melalui alternatif pendekatan pembangunan berbasis masyarakat dengan dua perspektif. Pertama, perspektif Ekologi. Kedua, Keadilan Sosial dan Hak Asasi Manusia (HAM)

Perspektif Ekologi
Menyikapi isu lingkungan hidup, terdapat dua tanggapan berbeda. Pertama, penganut Environmentalism, disebut juga pendekatan ekologi hijau muda, atau ekologi dangkal. Kedua, Green yang disebut juga pendekatan hijau tua atau ekologi dalam.
Tanggapan Environmentalism memiliki dua ciri. Pertama, masalah spesifik, dianggap terpisah dari masalah lain sehingga dicarikan solusi deskret, linier, teknis-teknologis. Contoh: masalah populasi dengan program keluarga berencana, hilangnya alam liar dengan menciptakan kawasan lindung. Kedua, solusi yang ditawarkan tetap berada dalam orde sosial, ekonomi, dan politik yang mapan sehingga tidak dipandang perlu mengubah secara mendasar sifat dari masyarakat yang telah dibentuk oleh orde yang mapan ini.
Teori sosial dan politik Green beragam, yaitu: Eko-sosialisme; Eko-anarkhisme; Eko-feminisme; Eko-luddisme; Anti pertumbuhan; Ekonomi alternatif; Kerja, waktu senggang; dan Etika kerja; Pembangunan global; Eko-filosofi; dan Pemikiran paradigma baru. Inti posisi Green adalah perspektif ekologi, menyatukan berbagai keragaman pendekatan tersebut, atas dasar empat prinsip ekologi: holisme, keberlanjutan, keanekaragaman, keseimbangan.

Perspektif Keadilan Sosial dan HAM
Diawali dengan teori keadilan sosial yang dikembangkan John Rawls (1972; 1999) yang menyimpulkan tiga prinsip keadilan: kesetaraan kebebasan dasar, kesetaraan kesempatan untuk kemajuan, dan keberpihakan secara positif bagi yang tidak mampu demi menjaga kesetaraan.
Beberapa tema dalam perspektif keadilan sosial terhadap keadaan yang merugian antara lain: Perspektif individual; Reformsi kelembagaan; Struktural; dan Post-structural. Pendekatan individu dan kelembagaan bermanfaat terutama dalam lingkup perspektif struktural dan post-structural. Dominasi kelas, gender dan ras/etnisitas adalah bentuk-bentuk struktur yang merugikan. Komitmen untuk menanganinya harus menjadi bagian penting dari setiap strategi keadilan sosial dan HAM.

HAM adalah konsep yang kompleks namun vital dalam pengembangan masyarakat. Wacana HAM dalam pengembangan masyarakat haruslah diikuti dengan pembangun kebudayaan HAM, sebuah proses perlahan dalam jangka panjang.

Inti dari strategi keadilan sosial dan HAM adalah pemberdayaan yang bertujuan meningkatkan keberdayaan dari kaum yang dirugikan (disadvantage). Dua konsep penting, yaitu keberdayaan dan yang dirugikan perlu selalu dipertimbangkan sebagai bagian dari perspektif keadilan sosial dan HAM.

Kebutuhan adalah salah satu ekspresi dari prinsip keadilan sosial dan HAM. Pendefinisian kebutuhan oleh masyarakat dan pengguna layanan adalah paling penting. Masyarakat memiliki kapasitas untuk mendefinisikan kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri dan bertindak untuk memenuhinya. Jadi, ada empat komponen kunci pendekatan keadilan sosial dan HAM, yaitu: keadaan yang merugikan, hak-hak, pemberdayaan dan kebutuhan.

Setiap perspektif secara sendiri-sendiri tidak mencukupi. Perspektif ekologi, dalam dirinya sendiri, tidak mengandung prinsip keadilan sosial dan HAM, seperti: pemberdayaan, melawan struktur-struktur dan wacana opresi. Model yang dibangun sekitar perspektif ekologi gagal menangani isu-isu struktural.

Perspektif keadilan sosial dan HAM secara sendiri juga tidak mencukupi. Banyak resep keadilan sosial dan HAM yang tidak konsisten dengan kendala-kendala ekologis. Misalnya, pertumbuhan ekonomi tanpa batas, penciptaan lapangan kerja yang potensial menimbulkan tabrakan antara strategi keadilan sosial dan HAM dengan pendekatan ekologi.

Dua perspektif tersebut dibutuhkan secara terpadu yang membentuk basis visi masyarakat masa depan. Ini melahirkan konsep komunitas yang dipahami dengan lima ciri: skala manusia, identitas dan kepemilikan, kewajiban-kewajiban, Gemeinschaft dan kebudayaan.

Pengembangan masyarakat merupakan perubahan dari bawah yang memaksimalkan partisipasi, melalui konsep demokrasi partisipatif yang diperkuat demokrasi deleberatif. Pengembangan masyarakat sejatinya merupakan proses. Integritas proses pengembangan masyarakat adalah fundamental. Peningkatan kesadaran, kerjasama masyarakat merupakan bagian dari proses terpenting yang tidak dapat dipaksakan tetapi harus berjalan natural.

Pengembangan Masyarakat Terpadu
Kerja sosial konvensional masih ada yang hanya memusatkan pelayanan kemanusiaan tetapi mengabaikan basis ekonomi. Sebaliknya ada pengembangkan ekonomi masyarakat dengan asumsi bahwa semua aspek lainnya akan mengikuti. Sesungguhnya ada sembilan (9) dimensi pengembangan masyarakat, namun ada enam (6) dimensi yang sangat penting:
  • Pengembangan sosial.
  • Pengembangan ekonomi.
  • Pengembangan politik.
  • Pengembangan budaya.
  • Pengembangan lingkungan.
  • Pengembangan personal/spiritual

Oleh : Jaafar Belitong
Sumber : http://id.shvoong.com/books/dictionary/2167830-pengembangan-masyarakat-di-era-globalisasi/

Pemberdayaan Masyarakat Desa

Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan (Tulisan 6)

Sejak pemerintahan Orde Baru sampai sekarang, gonjang-ganjing mengenai peningkatan taraf hidup petani di pedesaan selalu mengalami dinamika. Apapun kebijakan pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup petani, seringkali menuai kritikan dan kontroversi dari berbagai pihak. Banyak kalangan yang mengatakan petani sebagai "wong cilik" yang kehidupannya semakin tertindas dan harus menjadi tumbal atas kebijakan  perekonomian pemerintah. Kita lihat kembali bagaimana kebijakan penentuan harga dasar gabah, pengurangan subsidi pupuk, mahalnya harga bahan bakar dan baru-baru ini kebijakan import yang dirasa tidak berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan petani.

Disisi lain, pembangunan nasional juga menciptakan kesenjangan antara desa dan kota. Banyak peneliti yang sudah membuktikan bahwa pembangunan semakin memperbesar jurang antara kota dan desa. Sangat disadari, negara berkembang seperti Indonesia mengkonsentrasikan pembangunan ekonomi pada sektor industri yang membutuhkan investasi yang mahal untuk mengejar pertumbuhan. Akibatnya sektor lain seperti  sektor pertanian dikorbankan yang akhirnya pembangunan hanya terpusat di kota-kota.   Hal ini juga sesuai dengan hipotesa Kuznets, bahwa pada tahap pertumbuhan awal pertumbuhan diikuti dengan pemerataan yang buruk dan setelah masuk pada tahap pertumbuhan lanjut pemerataan semakin membaik. (Todaro, 2000) Faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan tersebut antara lain karena perbedaan pendidikan, ketersediaan lapangan pekerjaan, infrastruktur investasi, dan kebijakan (Arndt, 1988).

Dewasa ini, telah banyak para ahli pembangunan masyarakat pedesaan yang mengangkat permasalahan ini ke permukaan. Karena sesungguhnya yang terjadi petani tetap miskin, sebab persoalan yang berkaitan dengan produksi seperti kapasitas sumber daya manusia, modal, dan kebijakan tetap sama dari tahun ke tahun walaupun bentuknya berbeda. Studi mengenai kemiskinan pedesaan oleh Sarman dan Sajogyo (2000) menunjukkan bahwa untuk daerah pedesaan di Sulteng mencapai 48,08% sementara untuk perkotaan sekitar 12,24%. Studi ini menggunakan pendekatan jisam (kajian bersama) sehingga kriteria kemiskinan sangat lokalistik berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar dan kepemilikan masyarakat.

Banyak proyek/program pemerintah yang sudah dilakukan untuk mendorong pembangunan perekonomian masyarakat pedesaan. Proyek/program tersebut dilakukan masing-masing departemen maupun antar departemen. Pada umumnya proyek-proyek yang digulirkan masih pada generasi pemberian bantuan fisik kepada masyarakat. Baik berupa sarana irigasi, bantuan saprotan, mesin pompa, pembangunan sarana air bersih dan sebagainya. Kenyataannya, ketika proyek berakhir maka keluaran proyek tersebut sudah tidak berfungsi atau bahkan hilang. beberapa faktor yang mempengaruhi kegagalan proyek tersebut antara lain, yaitu: (1) ketidaktepatan antara kebutuhan masyarakat dan bantuan yang diberikan (2) paket proyek tidak dilengkapi dengan ketrampilan yang mendukung (3) tidak ada kegiatan monitoring yang terencana (4) tidak ada kelembagaan di tingkat masyarakat yang melanjutkan proyek.

Belajar dari berbagai kegagalan tersebut, generasi selanjutnya proyek-proyek mulai dilengkapi dengan aspek lain seperti pelatihan untuk ketrampilan, pembentukan kelembagaan di tingkat masyarakat, keberadaan petugas lapang, melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Atau dengan kata lain beberapa proyek dikelola dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, hasil proyek lebih lama dimanfaatkan oleh masyarakat bahkan berkembang memberikan dampak positif.     

Pemberdayaan adalah bagian dari paradigma pembangunan yang memfokuskan perhatiannya kepada semua aspek yang prinsipil dari manusia di lingkungannya yakni mulai dari aspek intelektual (Sumber Daya Manusia), aspek material dan fisik, sampai kepada aspek manajerial. Aspek-aspek tersebut bisa jadi dikembangkan menjadi aspek sosial-budaya, ekonomi, politik, keamanan dan lingkungan.

Telaah lebih lanjut paper ini adalah bagaimanakah peran pemberdayaan masyarakat desa dalam program-program pemerintah untuk peningkatan pendapatan. Kemudian seberapa besarkah kegiatan ekonomi masyarakat desa mendukung perekonomian nasional. Topik tersebut masih relevan untuk dibahas bagi agenda pembangunan ekonomi Indonesia ke depan,  mengingat keberadaan masyarakat desa dari sisi kualitas dan kuantitas menjadi peluang dan tantangan.

Oleh : MG Ana Budi Rahayu
Sumber : http://www.binaswadaya.org/index.php?option=com_content&task=view&id=155&Itemid=39&lang=in_ID

Stratifikasi Sosial atau Pelapisan Sosial dalam Masyarakat

Pelapisan Sosial (Tulisan 5)

Masyarakat manusia terdiri dari beragam kelompok-kelompok orang yang ciri-ciri pembedanya bisa berupa warna kulit, tinggi badan, jenis kelamin, umur, tempat tinggal, kepercayaan agama atau politik, pendapatan atau pendidikan. Pembedaan ini sering kali dilakukan bahkan mungkin diperlukan.

Semua manusia dilahirkan sama seperti yang selama ini kita tahu, melalui pendapat para orang-orang bijak dan orang tua kita atau bahkan orang terdekat kita. Pendapat demikian ternyata tidak lebih dari omong kosong belaka yang selalu ditanamkan kepada setiap orang entah untuk apa mereka selalu menanamkan hal ini kepada kita.

Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, kenyataan itu adalah ketidaksamaan. Beberapa pendapat sosiologis  mengatakan dalam semua masyarakat dijumpai ketidaksamaan di berbagai bidang misalnya saja dalam dimensi ekonomi: sebagian anggota masyarakat mempunyai kekayaan yang berlimpah dan kesejahteraan hidupnya terjamin, sedangkan sisanya miskin dan hidup dalam kondisi yang jauh dari sejahtera. Dalam dimensi yang lain misalnya kekuasaan: sebagian orang mempunyai kekuasaan, sedangkan yang lain dikuasai. Suka atau tidak suka inilah realitas masyarakat, setidaknya realitas yang hanya bisa ditangkap oleh panca indera dan kemampuan berpikir manusia. Pembedaan anggota masyarakat ini dalam sosiologi dinamakan startifikasi sosial.

Seringkali dalam pengalaman sehari-hari kita melihat fenomena sosial seperti seseorang yang tadinya mempunyai status tertentu di kemudian hari memperoleh status yang lebih tinggi dari pada status sebelumnya. Hal demikian disebut mobilitas sosial. Sistem Stratifikasi menuruf sifatnya dapat digolongkan menjadi straifikasi terbuka dan stratifikasi tertutup, contoh yang disebutkan diatas tadi merupakan contoh dari stratifikasi terbuka dimana mobilitas sosial dimungkinkan.

Suatu sistem stratifikasi dinamakan tertutup manakala setiap anggota masyarakat tetap pada status yang sama dengan orang tuanya, sedangkan dinamakan terbuka karena setiap anggota masyarakat menduduki status berbeda dengan orang tuanya, bisa lebih tinggi atau lebih rendah.

Mobilitas Sosial yang disebut tadi berarti perpindahan status dalam stratifikasi sosial. Banyak sebab yang dapat memungkinkan individu atau kelompok berpindah status, pendidikan dan pekerjaan misalnya adalah salah satu faktor yang mungkin dapat meyebabkan perpindahan status ini. Masih banyak sebab-sebab lain dalam mobilitas sosial ini, namun yang menjadi pertanyaan saya adalah kondisi dan atas dasar apa individu maupun kelompok melakukan perpindahan status ini? Tetapi biarlah pertanyaan ini tetap menjadi pertanyaan.

Stratifikasi sosial digunakan untuk menunjukan ketidaksamaan dalam masyarakat manusia. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa banyak dimensi dalam stratifikasi sosial akan tetapi tidak semua dimensi akan ditulis dalam makalah ini mengingat keterbatasan pengetahuan saya soal hal ini. Namun beberapa stratifikasi yang menurut saya penting akan saya tuliskan. Pertama, perbudakan seperti yang kita tahu pada sistem seperti ini masyarakat di bagi menjadi dua pemilik budak dan budak. Dimana seseorang atau kelompok orang dimiliki sebagai hak milik seseorang. Namun hal ini sudah lama tidak berlaku lagi saat ini. Salah satu penyebab adanyanya budak adalah perang. Dimana pihak yang kalah kemudian dijadikan tawanan kerja paksa.. Kedua, kasta hal ini berhubungan dengan kepercayaan bansa India dimana mereka percaya terhadap reinkarnasi bahwa manusia akan dilahirkan kembali, dan setiap orang wajib menjalani hidupnya sesuai dengan kastanya, dan bagi mereka yang tidak menjalankan kewajiban sesuai kastanya maka dalam kehidupan mendatang akan dilahirkan kembali didalam kasta yang lebih rendah. Setiap orang dalam sistem kasta ini mendapatkan tingkatan kastanya berdasarkan kasta keluarga mereka. Namun yang masih belum jelas disini adalah atas dasar apa dan darimana keluarga mereka mendapatkan kedudukan dalam kasta tersebut? Ketiga, Estates hal ini erat hubungannya dengan sistem Feodal dimana kedudukan seseorang dinilai dari seberapa banyak dia memiliki tanah. Tanah ini merupakan hadiah atau penghargaan untuk para raja-raja bangsawaan atas dukungannya terhadap raja. Keempat, kelas ialah pembagian masyarakat atas dasar kemampuan ekonomi yang tercermin dalam gaya hidupnya.

Perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat sejak jaman perbudakan sampai revolusi industri hingga sekarang secara mendasar dan menyeluruh telah memperlihatakan pembagian kerja dalam masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka diferensiasi sosial yang tidak hanya berarti peningkatan perbedaan status secara horizontal maupun vertical. Hal ini telah menarik para perintis sosiologi awal untuk memperhatikan diferensiasi sosial, yang termasuk juga stratifikasi sosial. Perbedaan yang terlihat di dalam masyarakat ternyata juga memiliki berbagai macam implikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Status yang diperoleh kemudian menjadi kunci akses kesegala macam hak-hak istimewa dalam masyarakat yang pada dasarnya hak istimewa tersebut merupakan hasil dari rampasan dan penguasaan secara paksa oleh yang satu terhadap yang lainya, mendominasi dan didominasi, yang pada akhirnya merupakan sumber dari ketidaksamaan di dalam masyarakat. Berbagai macam argumentasi pun diajukan guna menjelaskan ketidaksamaan ini yang kemudian berubah menjadi ketidakadilan.

Oleh : Ario Adityo
Sumber : http://arioadityo.multiply.com/journal/item/7/Stratifikasi_Sosial?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

Mengembalikan Hak-Hak Warga Negara

Warga Negara (Tulisan 4)

Kebebasan warga negara tercermin pada pemenuhan hak-haknya, berikut pengembaliannya. Namun, telah lama fenomena pengabaian hak-hak warga negara terpampang tanpa malu-malu dalam pola relasi negara dan rakyat hampir di semua aspek. Pengabaian hak oleh pemerintah memang tidak bisa dipandang hanya sebagai terminologi dan wilayah politik, sebagaimana dalam kegiatan pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, serta musyawarah rencana pembangunan daerah. Pengabaian justru secara kentara terjadi dalam penyelenggaraan pelayanan publik dalam lokus administratif dan manajerial yang kerap kali dilakukan oleh aparatur negara yang notabene merupakan tangan pemerintah. Namun, melalui partisipasi politik yang tidak berkualitaslah di kemudian hari maladministasi dan kelalaian manajerial itu terjadi.

Jika berbagai kasus yang ada ditelaah, pengabaian hak-hak ini memiliki pola yang bervariasi antara pola berhadapan di muka (face to face model), pola kamuflase (camouflage model), serta pola parsial (partial model). Perbedaan pola ini secara signifikan diidentifikasi berdasarkan corak perlakuan pemberi layanan terhadap penerimanya.

Pola pengabaian dengan berhadapan di muka merupakan pengabaian hak warga negara yang dilakukan secara lugas dan langsung dikenakan pada obyek. Pengenaan serangkaian biaya pendaftaran siswa terhadap calon orang tua siswa merupakan contoh pola ini. Demikian juga dengan aksi penggusuran warga dan pedagang semisal di kawasan Rawasari.

Berbeda dengan pola di atas, pola kamuflase terjadi ketika suatu kegiatan memiliki kesan tampak luar seakan-akan memenuhi hak-hak warga negara tetapi yang sebenarnya terjadi adalah pengabaian, bahkan penyingkiran, hak warga negara. Sebagai contoh, kegiatan renovasi dan pembenahan pasar dengan mengeluarkan pedagang-pedagang lama terlebih dulu untuk kemudian mengenakan tarif sewa kios baru yang menurut estimasi sulit dijangkau sebagaian besar pedagang lama, sementara pedagang dengan kapasitas permodalan menengah ke atas berkemungkinan menjangkaunya. Tindakan ini dipublikasikan sebagai upaya untuk memodernisasi pasar tradisional agar dapat bersaing secara sehat dengan mal dan pasar modern lainnya, juga untuk mewujudkan kenyamanan konsumen dalam berbelanja di pasar tradisional. Namun, dengan mekanisme seperti itu, nyata bahwa terjadi penyingkiran sistematis pedagang lama dengan kapasitas permodalan minim untuk kemudian digantikan oleh mereka yang lebih mapan. Pada ruang lingkup kegiatan demokrasi prosedural, pendaftaran yang tidak dilakukan terhadap warga calon pemilih atau melakukan pendaftaran atas mereka yang belum/ tidak dapat dikategorikan sebagai pemilih dalam serangkaian kegiatan pemilu atau pilkada juga merupakan contoh nyata pola pengabaian ini akibat malpraktek administrasi.

Pola pengabaian parsial terjadi ketika, baik disengaja maupun tidak, suatu penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan dengan memenuhi sebagian hak-hak warga negara tetapi pada saat yang bersamaan ada sisi lain yang menjadi cacat bawaan prosedural sehingga tidak mencapai pemenuhan hak secara utuh. Contoh pola ini didapatkan pada pengoperasian Komisi Ombudsman Nasional (KON). Lembaga ini dibentuk delapan tahun lalu melalui Keppres No. 44 Tahun 2000 untuk menjawab pengaduan dan mengawasi pelaksanaan pelayanan umum. Namun, lembaga ini tampak memiliki kredibilitas yang rendah karena hanya bisa melanjutkan penyimpangan dalam pelayanan atau pengaduan yang disampaikan kepadanya dengan teguran, tanpa kemudian mengubah keputusan lembaga atau hukum mengenai suatu pelayanan atau membuat tindakan hukum lain yang lebih tegas si pelaku. Berbeda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang, selain memiliki landasan hukum setaraf undang-undang (UU), lembaga ini sedemikian superpower hingga (sebelumnya) bisa menyelenggarakan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor), hakim sendiri, serta alienasi lembaga kejaksaan dan kepolisian untuk turut campur dalam kasus yang sudah ditangani KPK.

Perilaku pengabaian di atas merupakan hambatan dalam pencapaian konsolidasi demokrasi sehingga pada akhirnya implikasi yang ditimbulkan akan kembali pada dimensi politik. Jika kita sepakat bahwa kegiatan demokrasi prosedural merupakan langkah sementara untuk kemudian mencapai demokrasi substansial—suatu kondisi hak-hak politik warga negara terlindungi dan kebijakan diorientasikan pada pencapaian kesejahteraan mereka, perbaikan demokrasi prosedural menjadi mutlak untuk diwujudkan. Sebuah keadaan yang demokrasi terkonsolidasikan ditunjukkan dari kredibilitas demokrasi pada benak sebagian besar warga negara sebagai satu jalan utama bagi perbaikan sekaligus pengembangan kehidupan politik mereka hingga akhirnya berimplikasi pada taraf ekonominya.

Oleh : Defny Holidin
Sumber : http://netsains.com/2009/07/mengembalikan-hak-hak-warga-negara/

Peranan Pemuda dalam Sosialisasi Bermasyarakat

Pemuda dan Sosialisasi (Tulisan 3)

Pemuda merupakan generasi penerus sebuah bangsa, kader bangsa, kader masyarakat dan kader keluarga. Pemuda selalu diidentikan dengan perubahan, betapa tidak peran pemuda dalam membangun bangsa ini, peran pemuda dalam menegakkan keadilan, peran pemuda yang menolak kekeuasaan.

Sejarah telah mencatat kiprah pemuda-pemuda yang tak kenal waktu yang selalu berjuang dengan penuh semangat biarpun jiwa raga menjadi taruhannya. Indonesia merdeka berkat pemuda-pemuda Indonesia yang berjuang seperti Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Bung Tomo dan lain-lain dengan penuh mengorbankan dirinya untuk bangsa dan Negara.

Dalam sebuah pidatonya, Sukarno pernah mengorbakan semangat juang Pemuda apa kata Sukarno “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan dunia”. Begitu besar peranan pemuda di mata Sukarno, jika ada sembilan pemuda lagi maka Indonesia menjadi negara Super Power.

Satu tumpah darah, satu bangsa dan satu bahasa merupakan sumpah pemuda yang di ikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928. Begitu kompaknya pemuda Indonesia pada waktu itu, dan apakah semangat pemuda sekarang sudah mulai redup, seolah dalam kacamata negara dan masyarakat seolah-olah atau kesannya pemuda sekarang malu untuk mewarisi semangat nasionalisime. Hal tersebut di pengaruhi oleh Globalisasi yang penuh dengan tren.

Sukarno, Hatta, Syahrir seandainya mereka masih hidup pasti mereka menangis melihat semangat nasionalisme pemuda Indonesia sekarang yang selalu mementingkan kesenangan dan selalu mementikan diri sendiri.

Sekarang Pemuda lebih banyak melakukan peranan sebagai kelompok politik dan sedikit sekali yang melakukan peranan sebagai kelompok sosial, sehingga kemandirian pemuda sangat sulit berkembang dalam mengisi pembangunan ini.

Peranan pemuda dalam sosialisi bermasyrakat sungguh menurun dratis, dulu bisanya setiap ada kegiatan masyarakat seperti kerja bakti, acara-acara keagamaan, adat istiadat biasanya yang berperan aktif dalam menyukseskan acara tersebut adalah pemuda sekitar. Pemuda sekarang lebih suka dengan kesenangan, selalu bermain-main dan bahkan ketua RT/RW nya saja dia tidak tahu.

Kini pemuda pemudi kita lebih suka peranan di dunia maya ketimbang dunia nyata. Lebih suka nge Facebook, lebih suka aktif di mailing list, lebih suka di forum ketimbang duduk mufakat untuk kemajuan RT, RW, Kecamatan, Provinsi bahkan di tingkat lebih tinggi adalah Negara.

Selaku Pemuda kita dituntut aktif dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, sosialisasi dengan warga sekitar. Kehadiran pemuda sangat dinantikan untuk menyokong perubahan dan pembaharuan bagi masyarakat dan negara. Aksi reformasi disemua bidang adalah agenda pemuda kearah masyarakat madani. Reformasi tidak mungkin dilakukan oleh orang tua dan anak-anak.

Sejalan dengan semangat desentralisasi, dengan pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada pemerintah daerah, membuka kesempatan bagi setiap masyarakat mengisi pembangunan daerah. Pemuda sebagai elemen penting masyarakat dalam pembangunan daerah, sudah sepatutnya memaknai dan mewarnai setiap kebijakan pembangunan daerah. Disinilah pentingnya pemuda memposisikan diri dan mengambil peran-peran strategis dalam pembangunan daerah saat ini. Dalam jejak rekamnya, pemuda acapkali dalam posisi sebagai pelopor pembaharuan, pelatuk perubahan sekaligus pengawal perubahan. Semangat perubahan yang menjiwai semangat desentralisasi mestinya menemukan titik yang sama dengan peran yang telah melekat dalam diri pemuda. 

Menterjemahkan peran-peran strategis yang memberi konstribusi bagi percepatan pembangunan daerah menjadi pilihan yang tidak boleh berlalu tanpa pemaknaan dari pemuda. Praktek desentralisasi yang acapkali tidak tepat diterjemahkan oleh pemerintah daerah, perlu terus mendapat kontrol dari masyarakat. Maka, Pilihan sebagai oposisi (pengontrol kebijakan)dalam setiap kebijakan pembangunan daerah juga merupakan pilihan strategis bagi pemuda.

Sepatutnya, pemuda tidak lagi hanya dalam posisi berpangku tangan atau menunggu inisiasi dari pemerintah daerah untuk bersama-sama berperan mengisi pembangunan daerah. Menginisiasi dan mendorong konsep pembangunan daerah dalam era desentralisasi ini, sangat terbuka bagi pemuda. Pemuda yang mampu membaca tanda-tanda zamannya, seyogyanya telah berada pada pilihan penguatan kelembagaan lokal, guna mendorong kesadaran semua elemen masyarakat tuk terlibat aktif mendorong percepatan pembangunan daerah.

Akhirnya, pemuda harus menyadari bahwa, harapan dan cita-cita kemerdekaan akan kedaulatan sepenuhnya untuk rakyat, dengan semangat demokrasi oleh dan untuk rakyat, di era desentralisasi ini, ada dipundak para pemuda.

Oleh : Fadli Saldi
Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2010/02/23/peranan-pemuda-dalam-sosialisasi-bermasyarakat/

Agama dan Masyarakat

(Rangkuman 9)

Definisi Agama

Dengan singkat definisi agama menurut sosiologi adalah definisi yang empiris. Sosiologi tidak pernah memberikan definisi agama yang evaluative (menilai). Sosiologi angkat tangan mengenai hakikat agama, baiknya atau buruknya agama atau agama–agama yang tengah diamatinya. Dari pengamatan ini sosiologi hanya sanggup memberikan definisi deskriptif (menggambarkan apa adanya) yang mengungkapkan apa yang dimengerti dan dialami pemeluk-pemeluknya.

Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu “sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal.” Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu “sifat kudus” dari agama dan “praktek-praktek ritual” dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini terlihat bahwa sesuatu dapat disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tersebut.

Dalam kamus sosiologi, pengertian agama ada 3 macam yaitu:
  1. Kepercayaan pada hal-hal yang spiritual
  2. Perangkat kepercayaan dan praktek-praktek spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri 
  3. Ideologi mengenai hal-hal yang bersifat supranatural

Ruang Lingkup Agama

Secara garis besar ruang lingkup agama mencakup :

a. Hubungan manusia dengan tuhannya
Hubungan dengan tuhan disebut ibadah. Ibadah bertujuan untuk mendekatkan diri manusia kepada tuhannya.

b. Hubungan manusia dengan manusia
Agama memiliki konsep-konsep dasar mengenai kekeluargaan dan kemasyarakatan. Konsep dasar tersebut memberikan gambaran tentang ajaran-ajaran agama mengenai hubungan manusia dengan manusia atau disebut pula sebagai ajaran kemasyarakatan. Sebagai contoh setiap ajaran agama mengajarkan tolong-menolong terhadap sesama manusia.

c. Hubungan manusia dengan makhluk lainnya atau lingkungannya.
Di setiap ajaran agama diajarkan bahwa manusia selalu menjaga keharmonisan antara makluk hidup dengan lingkungan sekitar supaya manusia dapat melanjutkan kehidupannya.


Fungsi dan Peran Agama Dalam Masyarakat

Dalam hal fungsi, masyarakat dan agama itu berperan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat   dipecahakan   secara   empiris   karena   adanya   keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian. Oleh karena itu, diharapkan agama menjalankan   fungsinya   sehingga   masyarakat   merasa   sejahtera, aman, stabil, dan sebagainya. Agama dalam masyarakat bisa difungsikan sebagai berikut :

a. Fungsi edukatif.
Agama memberikan bimbingan dan pengajaaran dengan perantara petugas-petugasnya (fungsionaris) seperti syaman, dukun, nabi, kiai, pendeta imam, guru agama dan lainnya, baik dalam upacara (perayaan) keagamaan, khotbah, renungan (meditasi) pendalaman rohani, dsb.

b. Fungsi penyelamatan.
Bahwa setiap manusia menginginkan keselamatan baik dalam hidup sekarang ini maupun sesudah mati. Jaminan keselamatan ini hanya bisa mereka temukan dalam agama. Agama membantu manusia untuk mengenal sesuatu “yang sakral” dan “makhluk teringgi” atau Tuhan dan berkomunikasi dengan-Nya. Sehingga dalam yang hubungan ini manusia percaya dapat memperoleh apa yang ia inginkan. Agama sanggup mendamaikan kembali manusia yang salah dengan Tuhan dengan jalan pengampunan dan Penyucian batin.

c. Fungsi pengawasan sosial (social control)
Fungsi agama sebagai kontrol sosial yaitu :
  • Agama meneguhkan kaidah-kaidah susila dari adat yang dipandang baik bagi kehidupan moral warga masyarakat.
  • Agama mengamankan dan melestarikan kaidah-kaidah moral ( yang dianggap baik )dari serbuan destruktif dari agama baru dan dari system hokum Negara modern.
d. Fungsi memupuk Persaudaraan.
Kesatuan persaudaraan berdasarkan kesatuan sosiologis ialah kesatuan manusia-manusia yang didirikan atas unsur kesamaan.
  • Kesatuan persaudaraan berdasarkan ideologi yang sama, seperti liberalism, komunisme, dan sosialisme.
  • Kesatuan persaudaraan berdasarkan sistem politik yang sama. Bangsa-bangsa bergabung dalam sistem kenegaraan besar, seperti NATO, ASEAN dll.
  • Kesatuan persaudaraan atas dasar se-iman, merupakan kesatuan tertinggi karena dalam persatuan ini manusia bukan hanya melibatkan sebagian dari dirinya saja melainkan seluruh pribadinya dilibatkan dalam satu intimitas yang terdalam dengan sesuatu yang tertinggi yang dipercayai bersama
e. Fungsi transformatif.
Fungsi transformatif disini diartikan dengan mengubah bentuk kehidupan baru atau mengganti nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru yang lebih bermanfaat.

IPTEK (Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Kemiskinan)

(Rangkuman 8)

Ilmu Pengetahuan

“ Ilmu pengetahuan” lazim digunakan  dalam pengertian sehari-hari, terdiri dari dua kata, “ ilmu “ dan “ pengetahuan “, yang masing-masing punya identities sendiri-sendiri. Dikalangan ilmuwan ada keseragaman pendapat, bahwa ilmu itu selalu tersusun dari pengetahuan secara teratur, yang diperoleh dengan pangkal tumpuan (objek) tertentu dengan sistematis, metodis, rasional/logis, empiris, umum dan akumulatif. Pengertian pengetahuan sebagai istilah filsafat tidaklah sederhana karena bermacam-macam pandangan dan teori (epistemologi), diantaranya pandangan Aristoteles, bahwa pengetahuan merupakan pengetahuan yang dapat diinderai dan dapat merangsang budi. Dan oleh Bacon & David Home pengetahuan diartikan sebagai pengalaman indera dan batin. Menurut Imanuel Kant pengehuan merupakan persatuan antara budi dan pengalaman. Dari berbagai macam pandangan tentang pengetahuan diperoleh  sumber-sumber pengetahuan berupa ide, kenyataan, kegiatan akal-budi,  pengalaman, sintesis budi, atau meragukan karena tak adanya sarana untuk mencapai pengetahuan yang pasti. Untuk membuktikan pengetahuan itu benar, perlu berpangkal pada teori kebenaran pengetahuan :
  1. Pengetahuan dianggap benar apabila dalil (proposisi) itu mempunyai hubungan dengan dalil (proposisi) yang terdahulu 
  2. Pengetahuan dianggap benar apabila ada kesesuaian dengan kenyataan 
  3. Pengetahuan dianggap benar apabila mempunyai konsekwensi praktis dalam diri yang mempunyai pengeahuan itu.

Teknologi

            Dalam konsep yang pragmatis dengan kemungkinan berlaku secara akademis dapatlah dikatakan bahwa pengetahuan (body ofknowledge), dan teknologi sebagai suatu seni (state of arts ) yang mengandung pengetian berhubungan dengan proses produksi; menyangkut cara bagaimana berbagai sumber, tanah, modal, tenaga kerja dan ketrampilan dikombinasikan untuk merealisasi tujuan produksi. “secara konvensional mencakup penguasaan dunia fisik dan biologis, tetapi secara luas juga meliputi teknologi sosial, terutama teknoogi sosial pembangunan (the social technology of development) sehingga teknologi itu adalah merode sistematis untuk mencapai tujuan insani (Eugene Stanley, 1970). Teknologi yang berkembang denan pesat meliputi berbagai bidang kehidupan manusia. Luasnya bidang teknik digambarkan sebagaia berikut :
  1. Teknik meluputi bidang ekonomi, artinya teknik mampu menghasilkan barang-barang industri. Dengan teknik, mampu mengkonsentrasikan capital sehingga terjadi sentralisasi ekonomi 
  2. Teknik meliputi bidang organisasional seperti administrasi, pemerintahan, manajemen, hukum dan militer
  3. Teknik meliputi bidang manusiawi. Teknik telah menguasai seluruh sector kehidupan manusia, manusia semakin harus beradaptasi dengan dunia teknik dan tidak ada lagi unsur pribadi manusia yang bebas dari pengaruh teknik.

Kemiskinan

Kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Dikatakan berada di bawah garis kemiskinan  apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian, tempat berteduh, dan lain-lain. Garis kemiskinan yang menentukan batas minimum pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, bisa dipengaruhi oleh tiga hal :

1.      Persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan
2.      Posisi  manusia dalam lingkungan sekitar
3.      Kebutuhan objectif manusia untuk bisa hidup secara manusiawi


Berdasarkan ukuran ini maka mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan memiliki cirri-ciri sebagai berikut :

1.      Tidak memiliki factor-faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, ketrampilan. Dll
2.      Tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri, seperti untuk memperoleh tanah garapan ataua modal usaha
3.      Tingkat pendidikan mereka rendah, tidak sampai taman SD
4.      Kebanyakan tinggal di desa sebagai pekerja bebas
5.      Banyak yang hidup di kota berusia muda, dan tidak mempunyai ketrampilan.

Kemiskinan menurut orang lapangan (umum) dapat dikatagorikan kedalam tiga unsure :

1.      Kemiskinan yang disebabkan handicap badaniah ataupun mental seseorang
2.      Kemiskinan yang disebabkan oleh bencana alam
3.      Kemiskinan  buatan.

Pengembangan Sosial

(Rangkuman 7)

Masyarakat Indonesia dewasa ini sedang mengalami masa pancaroba yang amat dahsyat sebagai akibat tuntutan reformasi secara menyeluruh. Sedang tuntutan reformasi itu berpangkal pada kegiatan pembangunan nasional yang menerapkan teknologi maju untuk mempercepat pelaksanaannya. Di lain pihak, tanpa disadari, penerapan teknologi maju itu menuntut acuan nilai-nilai budaya, norma-norma sosial dan orientasi baru. Tidaklah mengherankan apabila masyarakat Indonesia yang majemuk dengan multi kulturalnya itu seolah-olah mengalami kelimbungan dalam menata kembali tatanan sosial, politik dan kebudayaan dewasa ini.

Penerapan teknologi maju

Penerapan teknologi maju untuk mempercepat pebangunan nasional selama 32 tahun yang lalu telah menuntut pengembangan perangkat nilai budaya, norma sosial disamping ketrampilan dan keahlian tenagakerja dengn sikap mental yang mendukungnya. Penerapan teknologi maju yang mahal biayanya itu memerlukan penanaman modal yang besar (intensive capital investment); Modal yang besar itu harus dikelola secara professional (management) agar dapat mendatangkan keuntungan materi seoptimal mungkin; Karena itu juga memerlukan tenagakerja yang berketrampilan dan professional dengan orientasi senantiasa mengejar keberhasilan (achievement orientation).
 
Keterbatasan lingkungan (environment scarcity)

Penerapan teknologi maju yang mahal biayanya cenderung bersifat exploitative dan expansif dalam pelaksanaannya. Untuk mengejar keuntungan materi seoptimal mungkin, mesin-mesin berat yang mahal harganya dan beaya perawatannya, mendorong pengusaha untuk menggunakannya secara intensif tanpa mengenal waktu. Pembabatan dhutan secara besar-besaran tanpa mengenal waktu siang dan malam, demikian juga mesin pabrik harus bekerja terus menerus dan mengoah bahan mentah menjadi barang jadi yang siap di lempar ke pasar. Pemenuhan bahan mentah yang diperlukan telah menimbulkan tekanan pada lingkungan yang pada gilirannya mengancam kehidupan penduduk yang dilahirkan, dibesarkan dan mengembangkan kehidupan di lingkungan yang di explotasi secara besar-besaran. Di samping itu penerapan teknologi maju juga cenderung tidak mengenal batas lingkungan geografik, sosial dan kebudayaan maupun politik. Di mana ada sumber daya alam yang diperlukan untuk memperlancar kegiatan industri yang ditopang dengan peralatan modern, kesana pula mesin-mesin modern didatangkan dan digunakan tanpa memperhatikan kearifan lingkungan (ecological wisdom) penduduk setempat.

Peraturan dan perundang-undangan

Sejumlah peraturan dan perundang-undangan diterbitkan pemerintah untuk melindungi hak dan kewajiban segenap warganegara, seperti UU Perkawinan monogamous, pengakuan HAM dan pengakuan kesetaraan gender serta pengukuhan “personal, individual ownership” atas kekayaan keluarga mulai berlaku dan mempengaruhi sikap mental penduduk dengan segala akibatnya.

Pendidikan

Kekuatan perubahan yang sangat kuat, akan tetapi tidak disadari oleh kebanyakan orang adalah pendidikan. Walaupun pendidikan di manapun merupakan lembaga ssosial yang terutama berfungsi untuk mempersiapkan anggotanya menjadi warga yang trampil dan bertanggung jawab dengan penanaman dan pengukuhan norma sosial dan nilai-nilai budaya yang berlaku, namun akibat sampingannya adalah membuka cakrawala dan keinginan tahu peserta didik. Oleh karena itulah pendidikan dapat menjadi kekuatan perubahan sosial yang amat besar karena menumbuhkan kreativitas peserta didik untuk mengembangkan pembaharuan (innovation).

Di samping kreativitas inovatif yang membekali peserta didik, keberhasilan pendidikan menghantar seseorang untuk meniti jenjang kerja membuka peluang bagi mobilitas sosial yang bersangkutan. Pada gilirannya mobilitas sosial untuk mempengaruhi pola-pola interaksi sosial atau struktur sosial yang berlaku. Prinsip senioritas tidak terbatas pada usia, melainkan juga senioritas pendidikan dan jabatan yang diberlakukan dalam menata hubungan sosial dalam masyarakat.

Dengan demikian pendidikan sekolah sebagai unsur kekuatan perubahan yang diperkenalkan dari luar, pada gilirannya menjadi kekuatan perubahan dari dalam masyarakat yang amat potensial. Bahkan dalam masyarakat majemuk Indonesia dengan multi kulturnya, pendidikan mempunyai fungsi ganda sebagai sarana integrasi bangsa yang menanamkan saling pengertian dan penghormatan terhadap sesama warganegara tanpa membedakan asal-usul dan latar belakang sosial-budaya, kesukubangsaan, keagamaan, kedaerahan dan rasial. Pendidikan sekolah juga dapat berfungsi sebagai peredam potensi konflik dalam masyarakat majemuk dengan multi kulurnya, apabila diselenggarakan dengan benar dan secara berkesinambungan.

Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan

(Rangkuman  6)

Masyarakat dapat mempunyai arti yang luas dan sempit. Dalam arti luas masyarakat adalah ekseluruhan hubungan-hubungan dalam hidup bersama dan tidak dibatasi oleh lingkungan, bangsa dan sebagainya. Atau dengan kata lain kebulatan dari semua perhubungan dalam hidup bermasyarakat. Dalam arti sempit masyarakat adalah sekelompok manusia yang dibatasi oleh aspek-aspek tertentu, misalnya territorial, bangsa, golongan dan sebagainya.

Masyarakat harus mempunyai syarat-syarat berikut :

  1. Harus ada pengumpulan manusia, dan harus banyak, bukan pengumpulan binatang
  2. telah bertempat tinggal dalam waktu yang lama disuatu daerah tertentu
  3. adanya aturan-aturan atau undang-undang yang mengatur mereka untuk menuju pada kepentingan dan tujuan bersama.

Dipandang dari cara terbentuknya, masyarakat dapat dibagi dalam :

  1. masyarakat paksaan, misalnya Negara, masyarakat tawanan, dan lain-lain
  2. masyarakat merdeka, yagn terbagi dalam :
    1. masyarakat nature, yaitu masyarakat yang terjadi dengan sendirinya, seperti gerombolan, suku, yagn bertalian dengan hubungan darah atau keturunan
    2. masyarakat kultur, yaitu masyarakat yang terjadi karena kepentingan keduniaan atau kepercayaan, misalnya koperasi, kongsi perekonomian, gereja dan sabagainya

        Masyarakat perkotaan sering disebut urban community. Pengertian masyarakat kota lebih ditekankan pada sifat kehidupannya serta cirri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Ada beberap cirri yang menonjol pada masyarakat kota yaitu :

  1. kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa
  2. orang kota paa umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Yang penting disini adalah manusia perorangan atau individu
  3. pembagian kerja di antra warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata
  4. kemungkinan-kemungkinan  untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota dari pada warga desa
  5. interaksi yang terjai lebih banyak terjadi berdasarkan pada factor kepentingan daripaa factor pribadi
  6. pembagian waktu yang lebih teliti dan sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan individu
  7. perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh dari luar.

Perbedaan desa dan kota

  1. jumlah dan kepadatan penduduk
  2. lingkungan hidup
  3. mata pencaharian
  4. corak kehidupan sosial
  5. stratifikasi sosial
  6. mobilitas sosial
  7. pola interaksi sosial
  8. solidaritas sosial
  9. kedudukan dalam hierarki administrasi nasional

Masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komunitas yang terpisah sama sekali satu sama lain. Bahkan dalam keadaan yang wajar diantara keduanya terdapat hubungan yang erat, bersifat ketergantungan, karena diantara mereka saling membutuhkan. Kota tergantung pada desa dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan-bahan pangan sperti beras, sayur mayor, daging, ikan. Desa juga merupakan sumber tenaga kasar bagi jenis-jenis pekerjaan tertentu di kota misalnya saja buruh bangunan dalam proyek-proyek perumahan, proyek pembangunan atau perbaikan jalan raya atau jembatan. Sebaliknya, kota menghasilkan barang-barang yagn juga diperlukan oleh orang desa seperti bahan-bahan pakaian, alat dan obat pembasmi hama pertanian, minyak tanah, obat-obatn untuk memelihara kesehatan dan transportasi.

Pelapisan Sosial

(Rangkuman 5)

Pelapisan terdapat sebagai suatu kenyataan dalam masyarakat. Pelapisan maskudnya adalah keadaan yang berlapis-lapis atau bertingkat-tingkat. Istilah pelapisan diambil dari kata stratifikasi. Istilah stratifikasi berasal dari kata stratum ( jamaknya adalah strata, yang berarti lapisan). Pitirim A sorokin mengatakan bahwa pelapisan sosial adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarchies). Perwujudan dari gejala stratifikasi sosial adalah adanya tingkatan tinggi dan rendah. Dasar dan inti lapisan-lapisan didalam masyarakat adalah karena tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak, kewajiban dan tanggung jawab, serta dalam pembagian nilai-nilai sosial an pengaruhnya diantara anggota masyarakat.

Terjadinya pelapisan sosial

1.      Terjadi dengan sendirinya.

Proses ini berjalan sesuai dengan pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Adapun orang-orang yagn menduduki lapisan tertentu dibentuk bukan berdaarkan atas kesengajaan yang disusun sebelumnya oleh masyarakat itu, tetapi berjalan secara alamiah dengan sendirinya. Oleh karena sifanya yang tanpa disengaja inilah maka bentuk pelapisan dan dasar dari pada pelaisan ini bervariasi menurut tempat, waktu dan kebudayaan masyarakat dimanapun sistem itu berlaku. Pada pelapisan yang terjadi dengan  sendirinya, maka kedudukan seseorang pada suatu strata tertentu adalah secara otomatis, misalnya karena usia tua, karena pemilikan kepandaian yang lebih, atau kerabat pembuka tanah, seseorang yang memiliki bakat seni, atau sakti.

2.      Terjadi dengan disengaja

Sistem palapisan ini disusun dengan sengaja ditujuan untuk mengejar tujuan bersama. Didalam pelapisan ini ditentukan secar jelas dan tegas adanya wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepada seseorang. Dengan adanya pembagian yang jelas dalam hal wewenang dan kekuasaanini, maka didalam organisasi itu terdapat peraturan sehingga jelas bagi setiap orang yang ditempat mana letakknya kekuasaan dan wewenang yang dimiliki dan dalam organisasi baik secar vertical maupun horizontal.sistem inidapat kita lihat misalnya didalam organisasi pemeritnahan, organisasi politik, di perusahaan besar. Didalam sistem organisasi yang disusun dengan cara ini mengandung dua sistem ialah :
-     sistem fungsional ; merupakan pembagian kerja kepada kedudukan yang tingkatnya berdampingan dan harus bekerja sama dalam kedudukan yang sederajat, misalnya saja didalam organisasi perkantoran ada kerja sama antara kepala seksi, dan lain-lain
-     sistem scalar : merupakan pembagian kekuasaan menurut tangga atau jenjang dari bawah ke atas (vertikal


Menurut sifatnya maka sistem pelapisan dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi :

1.      Sistem pelapisan masyarakat yang  tertutup

Didalam sistem ini perpindahan anggota masyarakt kepelapisan yagn lain baik ke atas maupun ke bawah tidak mungkin terjadi, kecuali ada hal-hal yang istimewa. Didalam sistem yang demikian itu satu-satunya jalan untuk dapat masuk menjadi anggota dari suatu lapisan dalam masyarakat adalah karena kelahiran. Sistem pelapisan tertutup kita temui misalnya di India yang masyaraktnya mengenal sistem kasta

2.      Sistem pelapisan masyarakat yang terbuka

Didalam sistem ini setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan untuk jatuh ke pelapisan yang ada dibawahnya atau naik ke pelapisan yang di atasnya. Sistem yang demikian dapat kita temukan misalnya didalam masyarakat Indonesia sekarang ini. Setiap orang diberi kesempatan untuk menduduki segala jabatan bisa ada kesempatan dan kemampuan untuk itu. Tetapi di samping itu orang jug adapt turun dari jabatannya bila ia tidak mampu mempertahankannya.. Status (kedudkan) yang diperoleh berdasarkan atas usaha sendiri diebut “achieved status”